Translate

Minggu, 25 Januari 2015

KISAH POHON APEL






Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.

Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon,
memakan buahnya,
tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya.

Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.
Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu.

Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel.
Wajahnya tampak sedih.

Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi." Jawab anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang.
Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.

Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi.

Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi.
Pohon apel sangat Senang melihatnya datang.

"Ayo bermain-main denganku lagi." kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.
"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu." Kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon Apel itu dan pergi dengan gembira.

Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang,

Tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.

Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi.
Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
"Ayo bermain-main lagi deganku." kata pohon apel.
"Aku sedih," kata anak lelaki itu.
"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya.
Ia lalu pergi berlayar dan tak datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

"Maaf anakku," kata pohon apel itu.
"Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."
"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu." Jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat." Kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu." jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini." Kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang." Kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua.
Pohon apel itu adalah Orang Tua kita.

Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.
Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak Sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Dan, yang terpenting, cintailah orang tua kita.
Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya.
Berterima-kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seluruh Cerita Ini Disadur
Pengarang: Tidak Diketahui
Sumber Gambar: pixshark.com

Rabu, 21 Januari 2015

Nabire, Kota Emas





Saya tidak dilahirkan dan juga tidak dibesarkan di Nabire, namun kini orang-tua saya memilih menetap di Nabire karena pekerjaan. Nabire memiliki lebih banyak Sumber Daya Alam ketimbang kota tempat Saya dibesarkan, yaitu Biak. Di Nabire, Saya bekerja membantu perusahaan orang-tua Saya (PT.Ransun) yang bergelut dibidang forestry (pengumpulan kulit kayu massoia). Saya juga sempat bekerja disebuah perusahaan Agriculture disana. Ketika di Nabire, hampir setiap hari saya menggunakan helikopter ke tempat kerja. Sedangkan saat menuju ke perkebunan, saya lebih memilih menggunakan motor. Dua alat transportasi itu membantu saya melihat pemandangan alam Nabire dari berbagai view. Pemandangan-pemandangan itu ada yang merupakan pemandangan biasa yang dapat kita temukan didaerah lain, dan ada juga pemandangan yang sangat langka.




Kabupaten Nabire adalah salah satu kabupaten di provinsi Papua, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di punggung Pulau Papua dengan ibu kota di Kota Nabire, dan memiliki beberapa distrik yaitu: distrik Kota Nabire, distrik Makimi, distrik Yaur, distrik Napan, distrik Siriwo, distrik Teluk Kimi, distrik Teluk Umar, distrik Uwapa, distrik Wanggar, distrik Yaro, distrik Nabire Barat, distrik Wapoga, distrik Wadio-Jayanti, dan distrik Nabarua.

Walau kini Saya lebih sering mengunjungi Kota Nabire, namun sebenarnya sedari kecil Saya lebih familiar dengan daerah Wapoga, karena dulu ayah Saya bekerja didaerah itu. 

Nabire memiliki banyak sekali suku, dan masing-masing suku memilik cerita tentang asal-mula nama Nabire. Menurut suku Wate, bahwa kata “Nabire” berasal dari kata “Nawi” pada zaman dahulu dihubungkan dengan kondisi alam Nabire pada saat itu yang banyak terdapat binatang jangkrit, terutama disepanjang kali Nabire. Lama kelamaan kata “Nawi” yang mengalami perubahan penyebutan menjadi Nawire dan akhirnya menjadi “Nabire”. Suku Wate yang terdiri dari lima sub-suku yaitu Waray, Nomei, Raiki, Tawamoni dan Waii yang menggunakan satu bahasa terdiri dari enam kampung dan tiga distrik. Nah, menurut versi suku lain yaitu suku Yerisyam, Nabire berasal dari kata “Navirei” yang artinya daerah ketinggalan atau daerah yang ditinggalkan. Penyebutan Navirei muncul sebagai nama suatu tempat pada saat diadakannya pesta pendamain ganti daerah antara suku Hegure dan Yerisyam. Pengucapan Navirei kemudian berubah menjadi Nabire yang secara resmi dipakai sebagai nama daerah ini setelah ditetapkan oleh Bupati pertama yaitu AKBP. Drs. Surojotanojo, SH (Alm). Namun, suku ini juga memiliki versi lain mengenai asal-usul nama Nabire, yang katanya berasal dari Na Wyere yang artinya daerah kehilangan. Pengertian ini berkaitan dengan terjadinya wabah penyakit yang menyerang penduduk setempat, sehingga banyak yang meninggalkan Nabire kembali ke kampungnya dan Nabire menjadi sepi lambat laun penyebutan Na Wyere menjadi Nabire. Kemudian, menurut suku lain yaitu Suku Hegure, nama Nabire berasal dari Inambre yang artinya pesisir pantai yang ditumbuhi oleh tanaman jenis palem-palem seperti pohon sapu ijuk, pohon enau hutan, pohon nibun dan jenis pohon palem lainnya. Akibat adanya hubungan/komunikasi dengan suku-suku pendatang, lama kelamaan penyebutan Inambre berubah menjadi Nabire.

Sebuah Bendungan di Nabire


Saat Belanda menduduki Papua, Belanda menempatkan pos-pos utama di kota-kota pesisir pantai bagian utara Papua. Hingga tahun 1930 orang belum mengetahui adanya penduduk di Daerah Pegunungan Tengah, demikian pula penduduk daerah ini belum mengetahui adanya Pemerintah yang menguasai wilayahnya. Oleh sebab itu Pos Pemerintahan pertama yang ada di 3 wilayah ini dulu (Nabire, Paniai dan Puncak Jaya) pada masa Penjajahan Belanda sampai tahun 1938 hanya terdapat pada 2 (dua) tempat dipesisir pantai yaitu :

- Pos Pemerintahan yang pertama di Kwatisore (Distrik Yaur sekarang) dibuka pada tahun 1912 oleh Gezaghebberd Welt dari Onder Afdeling di Manokwari.

- Pos Pemerintahan pertama di Napan Weinami setelah Bestuur Assistent dari Serui mengunjungi Napan tahun 1920 dan untuk pertama kalinya ditempatkan Bestuur Assistent bernama A. Thenu di Napan Weinami, wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Pesisir Pantai ke Goni dan Daerah Pedalaman. 

Beberapa tahun kemudian Pemerintah Belanda membuka Onder Distrik di Nabire, yaitu pada tahun 1942, dengan Pejabat Distrik Hooft Bestuur Assistent (H.B.A.) Somin Soumokil.

Pemandangan Sebagian Kota Nabire dari Udara


Kini Nabire berkembang menjadi salah satu daerah teramai di Papua. Nabire memiliki jalan darat yang bagus dan menjangkau banyak daerah terpencil hingga mencapai Enarotali walaupun beberapa daerah diluar kota masih belum diaspal dan hanya mengandalkan jalan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan. Nabire merupakan salah satu daerah di Papua yang memiliki pemukiman transmigrasi terbesar dan terbanyak. Kota ini juga memiliki Bandar Udara dan Pelabuhan Laut. Kota ini juga tertata cukup rapih. Daerah perkantoran pemerintah dan perbankan berada di satu kawasan, dan daerah pertokoan juga disatukan dikawasan khusus pertokoan. Hal ini membuat orang-orang yang baru dikota ini tidak kesulitan. Kota ini juga memiliki hotel-hotel kecil, Gereja, dan Masjid. Sayangnya, setahu Saya kota ini tidak memiliki Wihara dan Pura.


Hutan di daerah Wanggar 


Nabire memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Dulu komoditas yang paling terkenal adalah kayu, dengan daerah-daerah utama penghasil kayu yaitu di Kwatisore dan Wapoga. Saat berada di Wapoga, Saya sering menyusuri sungai dengan perahu motor tempel dan terkadang mampir di beberapa camp kecil ditepi sungai. Saya dan sepupu-sepupu serta beberapa teman saya disana sering bermain dipinggir sungai, dan saat itu kami sering mendapati banyak sekali kayu gelondongan yang hanyut. Saya juga masih ingat saat melihat kapal tackboat kecil menarik tongkang besar yang penuh dengan kayu. Hingga kini, deposit kayu di Nabire masih merupakan salah satu yang terbesar di Papua. Akan tetapi, Nabire lebih dikenal sebagai Kota Emas, karena Nabire memiliki cadangan emas yang luar biasa. Banyak sekali perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Nabire, namun para pendatang domestik yang juga ingin mencari emas adalah orang-orang yang paling bertanggung-jawab atas rusaknya alam disekitar daerah pertambangan.



Salah Satu Area Transmigrasi



Sebuah Upacara Pernikahan Penduduk Asli (pengantin  pria)
yang dulunya berasal dari salah satu suku primitif


Kini penduduk Nabire mulai tertarik untuk memulai usaha dibidang pertanian dan perkebunan. Sudah ada perkebunan jeruk, perkebunan salak, perkebunan durian, persawahan, bahkan perkebunan tanaman atsiri (nilam, massoia/masohi, jahe, akar wangi, dan lain-lain). Para transmigran termasuk orang-orang yang berjasa di bidang ini.


Perkebunan Akar Wangi di area Kalibobo




Salah Satu Perkebunan Nilam di area Legari



Salah Satu Area Persawahan di Legari



Persemaian Pohon Masohi (Massoia) di Kalibobo


Salah satu ironi dari kota ini adalah masih banyak penduduk asli yang hidup dibawah garis kemiskinan ditengah melimpahnya sumber daya alam ditanah mereka sendiri. Hal lainnya adalah masih kurangnya inisiatif penduduk dari golongan tua untuk menumbuhkan minat belajar dan pemahaman akan pendidikan bagi anak-anak mereka, oleh karena itu tingkat dan mutu pendidikan di Nabire masih kurang jika dibandingkan di Biak yang daerahnya jauh lebih kecil dari Nabire, dan juga hampir tidak memiliki sumber daya alam. Ironisnya lagi, pesisir Nabire termasuk daerah di Papua yang cepat mengenal peradaban modern sejak jaman kolonial Belanda, oleh karena itu jika Anda berada di Kota Nabire, Anda akan sangat jarang melihat penduduk asli disana memakai pakaian primitif. 

Meskipun demikian, ada beberapa suku yang masih hidup primitif dan tidak bisa berbicara dengan Bahasa Indonesia. Saya masih ingat saat Saya berada di daerah Wapoga, ketika akan menuju ke daerah Sewa. Daerah Sewa termasuk dalam wilayah distrik Wapoga. Kami harus menyusuri Sungai Wapoga dengan menggunakan perahu motor tempel (jika ingin lebih cepat) atau kapal motor kecil. Ketika menyusuri sungai, banyak sekali suku-suku primitif yang berdiri ditepi sungai dan melihat kami. Mereka tidak mengganggu kami. Saya (saat itu masih di Sekolah Dasar) sering melambaikan tangan, dan mereka-pun membalas dengan lambaian.


Potret keadaan sebagian penduduk asli Nabire


Nabire sangat bergantung pada sumber daya alam sebagai pemasukan terbesar daerah ini, sehingga kota ini kurang memperhatikan potensi lain khususnya dibidang pariwisata, padahal Nabire juga memiliki pemandangan pantai, pemandangan alam, dan potensi pariwisata lainnya yang sangat indah. Pemandangan alam liar di Nabire benar-benar luar biasa. Masih banyak hutan dan sungai yang belum terjamah peradaban modern. Hewan-hewan liar juga masih banyak terdapat di wilayah ini. burung-burung yang dilindungi juga masih memenuhi hutan-hutan di Nabire, dan juga kota ini masih memiliki rusa.





Beberapa sungai di Nabire, seperti Sungai Wapoga, Sungai Sewa, dan Sungai Wanggar juga juga sangat alami. Meskipun warna Sungai Wapoga sangat keruh, namun Sungai Sewa (yang letaknya lebih jauh di pegunungan) yang sungai Wapoga, sangat jernih dan memiliki pemandangan yang sangat indah disisi-sisi sungai tersebut. Itu karena Sungai Sewa memiliki banyak batu-batu cadas didasar sungai dan ditepi sungai. Saat Saya masih bekerja di Nabire, Saya sering bepergian ke tempat kerja dengan menggunakan helikopter dan sering melewati daerah Karadiri dan Wanggar. Pemandangan sungai di daerah Karadiri dan Wanggar dari udara serta hutan disekitarnya terlihat sangat indah. Saya kemudian tertarik untuk menyusuri tepi sungai itu lewat darat. Gabungan dari batu-batu sungai, batu cadas, hutan ditepi sungai, dan langit yang dihiasi oleh sekawanan burung langka yang terbang berkelompok menawarkan pengalaman alam liar yang luar biasa, namun Saya tetap harus berhati-hati karena sungai-sungai itu masih memiliki buaya. Dari helipad kami di Karadiri, Saya dapat melihat pegunungan daerah Menouw yang sering tertutup awan. Sekitar jam 3 sore, pegunungan itu mulai mendung dan sulit dilewati oleh helikopter, namun pemandangan hutan di pegunungan itu sangat indah.




Beberapa Pemandangan Sungai Wanggar dari Udara







Beberapa Pemandangan sungai di area Karadiri






Beberapa Pemandangan Pegunungan di area Menouw dari udara


Sunrise di Nabire juga tidak kalah indahnya. Saya sangat menikmati sunrise Nabire saat Saya dan Ibu Saya dalam perjalanan dari Biak ke Nabire dengan menggunakan kapal fery. Sebelum masuk di pelabuhan fery Nabire, kami harus singgah di Serui (Kabupaten Yapen Waropen). Selepas dari Serui, barulah kapal kami menuju ke Nabire yang tidak begitu jauh dari Serui. Kami memasuki Nabire pada pagi hari, dan saat kapal mulai memasuki wilayah Nabire, para penumpang yang tidak begitu banyak seakan-akan serempak pergi keluar. Saat saya menoleh keluar melalui jendela kapa, sang sunrise menyambut pun menyambut dengan hangatnya. Saya dan Ibu menikmati sunrise ini berdua saja. Mungkin Ibu sudah lupa moment itu, tapi Saya tidak akan pernah melupakannya.


Sunrise di daratan Nabire saat terlihat dari arah Serui




Sunrise di wilayah perairan Nabire


Pantai-pantai di Nabire pun tidak kalah indah. Walaupun kurang dikomersilkan dan beberapa pantai wisata tidak memiliki fasilitas yang memadai namun pantai-pantai disana tetaplah memberikan pemandangan yang menawan. Saat Saya menggunakan sepeda motor untuk menuju ke kebun keluarga di daerah Legari sekaligus pergi ke pabrik perusahaan tempat Saya dulu bekerja, sesekali Saya berhenti pantai yang berada disisi jalan dan di jembatan. Pemandangan pantai dan juga sungai dibawah jembatan tersebut sangat indah dan menarik, terutama saat sunset tiba.

Saya juga sering menikmati sunset sepulang kerja dari daerah Karadiri. Memang saat pergi ke Karadiri, saya sering naik helikopter namun saat pulang, Saya dan Ayah lebih memilih menggunakan jalur darat dengan menggunakan mobil Jeep. Sebenarnya, pohon-pohon dan hutan yang masih rimbun sangat mendominasi pemandangan sepanjang jalan, namun saat memasuki sebuah area rawa-rawa didekat sebuah desa, area yang cukup flat tersebut membuat kami dapat menikmati terbenamnya matahari. Terkadang Saya hanya berdua dengan Ayah, terkadang kami ditemani oleh Ibu, adik-adik, dan salah seorang paman Saya. Kami sering bersenda-gurau sepanjang perjalanan, atau mengkomentari pekerjaan, atau mengomentari orang-orang yang menjengkelkan atau lucu. Jalan yang masih belum diaspal dan berlubang-lubang semakin membuat suasana dalam mobil menjadi sangat riuh.

Sunset di area Karadiri

Saya dan keluarga juga sering berkunjung ke sebuah pantai pribadi di daerah Buratey. Biasanya Kami kesana sepulang gereja. Usai menikmati makan siang ditepi pantai, kamipun berenang di pantai. Seringkali kali Kami juga menggunakan perahu besar milik Ayah Saya yang dilabuhkan di pantai itu untuk mencari ikan di laut. Saat jam menunjukkan 3 sore dan air laut mulai surut, biasanya Saya dan adik-adik serta sepupu-sepupu segera kembali dari laut dan mulai bermain sepak bola hingga matahari hampir terbenam. Lelah bermain sepak bola, Kami pun beristirahat sambil menikmati cemilan atau air kelapa, dan menikmati sunset bersama seluruh keluarga. Terkadang kami melihat kapal-kapal atau perahu-perahu yang lewat. Kebersamaan dengan keluarga dan cahaya matahari saat itu, sungguh merupakan masa-masa yang tak akan terlupakan.

Keceriaan Anak-anak yang sedang bermain Sepak bola
di Pantai Buratey




Beberapa Pemandangan Pantai Buratey ketika air surut


Sebuah Kapal yang melintas tidak jauh dari Pantai Buratey





Beberapa Pamandangan Sunset di Pantai Buratey





Beberapa gambar kenangan bersama dengan Keluarga
ketika berlibur di Pantai Buratey


Cahaya matahari terbit dan matahari terbenam yang berwarna keemasan, ingin menegaskan bahwa kota yang disinarinya adalah Kota Emas.



-Devy.R-
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber data:
www.nabirekab.go.id


Sumber Gambar:
Koleksi Foto Pribadi
wikipedia

Senin, 19 Januari 2015

TEMAN DAN SAHABAT






Ada perbedaan antara menjadi seorang teman dan menjadi seorang sahabat.

Seorang teman adalah seorang yang namanya kau ketahui,
yang kau lihat berkali-kali,
yang dengannya mungkin kau miliki persamaan,
dan yang disekitarnya kau merasa nyaman.
Ia adalah orang yang dapat kau undang ke rumahmu,
dan dengannya kau berbagi.

Namun mereka adalah orang yang dengannya tidak akan kau bagi hidupmu,
yang tindakan-tindakannya kadang-kadang tidak kau mengerti,
karena kau tidak cukup tahu tentang mereka.

Sebaliknya, seorang sahabat adalah seseorang yang kau cintai...
Bukan karena kau jatuh cinta padanya,
namun karena kau peduli akan orang itu,
dan kau memikirkannya ketika mereka tidak ada.

Sahabat-sahabat adalah orang dimana kau diingatkan ketika kau melihat sesuatu yang mungkin mereka sukai,
dan kau tahu itu karena kau mengenal mereka dengan baik.

Mereka adalah orang-orang yang fotonya kau miliki dan wajahnya selalu ada di kepalamu.

Mereka adalah orang-orang yang kau lihat dalam pikiran mu ketika kau mendengar sebuah lagu,
mereka juga membuat dirimu berdiri menghampiri seseorang dan mengajak  orang itu berdansa,
atau mungkin kau yang berdansa dengan mereka,
mungkin mereka menginjak jari kakimu,
atau sekedar menempatkan kepala mereka di pundakmu.

Mereka adalah orang-orang yang dengannya kau merasa aman karena kau tahu mereka peduli terhadapmu.

Mereka menelepon hanya untuk mengetahui apa kabarmu,
karena sahabat sesungguhnya tidak butuh suatu alasan-pun.

Mereka berkata jujur saat  memulai pembicaraan, dan kau melakukan hal yang sama.

Kau tahu bahwa jika kau memiliki masalah, mereka akan bersedia mendengar.

Mereka adalah orang-orang yang tidak akan menertawakan masalah-mu atau menyakitimu,
dan jika mereka benar-benar menyakitimu, mereka akan berusaha keras untuk memperbaikinya.

Mereka adalah orang-orang yang kau cintai dengan sadar ataupun tidak.

Mereka adalah orang-orang dengan siapa kau menangis ketika kau tidak diterima di perguruan tinggi,

Mereka adalah orang-orang yang bersama denganmu selama lagu terakhir di pesta perpisahan kelas atau juga di-saat wisuda.

Mereka adalah orang-orang yang pada saat kau peluk, kau tak akan berpikir berapa lama memeluk dan siapa yang harus lebih dahulu mengakhiri.


Mungkin mereka adalah orang yang memegang cincin pernikahanmu,

atau orang yang mengantarkan dan mengiringmu pada saat pernikahanmu,


atau mungkin adalah orang yang kau nikahi.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seluruh Cerita Ini Disadur
Pengarang: Tidak Diketahui

BIAK, BILA INGAT AKAN KEMBALI





Kota Biak terletak di Pulau Biak, sebuah pulau kecil dibagian utara Pulau Papua. Kota ini adalah bagian dari Kabupaten Biak Numfor yang menjadi bagian dari Provinsi Papua, Indonesia. Kota Biak tergolong kecil dan relatif sepi, namun di kota yang kecil dan sepi inilah Saya dan kedua adik Saya dibesarkan. Mulanya saya kesal dibawa ke Biak (maklum, sebelum ke Biak, Saya tinggal di Jakarta dan Surabaya), namun lama kelamaan Saya justru akan sangat kesal jika ada orang yang menghina-hina Biak, hingga kemudian, pulau yang terbentuk dari batu karang yang menantang Samudra Pasifik dengan iklim yang panas ini membentuk Saya dan menjadi dasar karakter Saya dan juga adik-adik Saya.

Saya masih ingat saat pertama kali saya datang ke Biak, Saya menginjakkan kaki ke Biak pertama kali pada tahun 1991. Saat itu saya masih berumur 4-5 tahun dan tinggal di kompleks perumahaan PT.Wapoga (perusahaan kayu terbesar di Papua saat itu), dan saya benar-benar syok dengan suhu pulau ini, juga dengan dialek/logat setempat. Saat itu saya benar-benar tidak mengerti, mengapa jika ada orang yang menanyakan letaknya kopi namun orang yang ditanya justru menjawab dimana seekor sapi berada. Contoh dialog: “Kaka, Kopi mana?” , lalu kemudian dijawab, “Sapi pasar.” Lama-kelamaan barulah saya mengerti bahwa mereka berbicara dengan kata yang sepotong-sepotong, sehingga arti dari dialog itu adalah demikian: “Kaka, Kopi mana?” (Kakak, Kau(kou/ko) Pergi(pi) kemana?” , dan dijawab, “Sapi pasar.” (Saya(sa) Pergi(pi) ke pasar), yang diucapkan dengan nada-nada tarikan khas Biak. Semakin lama saya mengamati dan mempelajari gaya komunikasi di Papua, saya juga semakin paham bahwa meskipun sering mempersingkat kata-kata dalam Bahasa Indonesia namun sebenarnya kami penduduk di Papua jauh lebih mampu berbicara dalam Bahasa Indonesia yang baku ketimbang orang-orang Indonesia dari daerah lain, dan walaupun Saya sekarang mampu berbicara dengan beberapa dialek/logat daerah lain dan juga bisa berkomunikasi dengan beberapa bahasa asing, tapi sampai sekarang Saya tetap bangga dan percaya diri jika berbicara dengan menggunakan logat Biak alias nada-nada tarikan khas Biak.


Biak bukanlah pulau tunggal, kabupaten ini terdiri dari 2 pulau utama yaitu Pulau Biak dan Pulau Numfor, dan Kepulauan Padaido. Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. 



Tentang asal usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat. Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata v`iak itu yang pada mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung pengertian ‘orang-orang yang tinggal di dalam hutan`, `orang-orang yang tidak pandai kelautan`, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-hal kelautan. Fonem w pada kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi b sehingga muncullah kata biak seperti yang digunakan sekarang. Nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor. Dua nama terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih itu. Dalam percakapan sehari-hari orang hanya menggunakan nama Biak saja yang mengandung pengertian yang sama juga dengan yang disebutkan di atas.


Potret Kota Biak Tahun 1958

Suku Biak juga merupakan suku terbesar di Papua dan pusat komunitasnya tersebar di Pulau Biak, Pulau Numfor, Pulau Supiori, dan Kepulauan Raja Ampat. Mengapa orang Biak bisa menjadi penduduk mayoritas di Raja Ampat, padahal Raja Ampat berada di dekat kota Sorong (18 jam naik kapal laut dari Biak)? Menurut kisah para tetua Biak, pada jaman dahulu sekelompok orang dari Biak pergi ke Ternate untuk menemui Sultan Ternate, karena saat itu Papua (termasuk Biak) adalah daerah taklukkan dari Kesultanan Ternate. Mereka ke Ternate untuk mengantar upeti pada Sultan, dan untuk ke Ternate mereka harus melewati/mampir daerah Raja Ampat. Pada saat pulang dari Ternate, beberapa orang dari kelompok ini memutuskan untuk tinggal di Raja Ampat. Lama-kelamaan, banyak orang-orang Biak yang mengikuti saudaranya untuk tinggal disana. Nah orang Biak dan suku-suku di kota-kota Papua bagian utara (Sorong, Manokwari, Nabire pantai , Serui) sudah lama mengenal peradaban yaitu dari masa Kesultanan Ternate yang dilanjutkan dengan masa kolonial Belanda, jadi kita tidak akan menemukan orang-orang yang berpakaian primitif disana.






Kabupaten Biak Numfor terletak di Teluk Cenderawasih pada titik 0°21'-1°31' LS, 134°47'-136°48' BT dengan ketinggian 0 - 1.000 meter di atas permukaan laut. Pulau ini juga dekat dengan garis katulistiwa sehingga suhu pulau ini tergolong panas. Berdasarkan hasil pencatatan Stasiun Meteorologi Kelas I Frans Kaisiepo Biak pada tahun 2011 dilaporkan bahwa suhu udara rata‐rata di wilayah Kabupaten Biak Numfor adalah 27,1 C dengan kelembaban udara rata‐rata 86,3%, sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah Kabupaten Biak Numfor secara keseluruhan, dan khususnya Pulau Biak termasuk kategori panas. Keunikan lain dari pulau ini adalah seluruh pulau terbentuk dari batu karang. Hal ini membuat orang-orang sering menyebut Biak sebagai Kota Karang Panas. Saya masih ingat saat masih sekolah dulu, ketika pihak sekolah meminta murid-murid untuk membawa tanah dari rumah untuk menanam berbagai tanaman di-sekolah, dan bagi kami, para murid, hal itu merupakan salah satu tugas terberat bagi kami, karena di pulau ini memiliki sangat sedikit tanah. Saya tinggal di Biak Kota (selatan) yang seluruhnya terdiri dari karang, sedangkan tanah lebih banyak di jumpai di Biak Timur dan Biak Barat, masalahnya adalah jaraknya yang jauh. Seringkali kami ‘iseng’ jika tidak bisa memperoleh tanah yang cukup. Kami menghancurkan karang-karang lunak dan mencampurnya dengan arang dari kayu atau ranting-ranting pohon yang kami bakar, lalu membasahinya agar mudah dicampur, dan kemudian memberikannya pada pihak sekolah (^^). Walaupun terbentuk dari karang, uniknya, banyak tumbuhan yang mampu tumbuh subur di pulau ini, seperti pepaya, ubi-ubian, sayuran, dan banyak lagi. Mungkin hanya tanaman yang tumbuh di dataran tinggi saja yang sulit berkembang di pulau ini.

Ada satu lagi yang menjadi keunikan kota ini. Meskipun tergolong kota kecil, namun kota ini memiliki tiga rumah sakit yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan dua rumah sakit militer milik TNI AU dan TNI AL. Jumlah ini merupakan jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan kota-kota di Teluk Cendrawasih (Nabire, Serui, Waropen, Supiori, dll). Rata-rata jumlah sekolah dan perguruan tinggi di pulau ini juga jauh lebih banyak dibandingkan dengan kota-kota lain di Teluk Cendrawasih walaupun kualitas prasarana kesehatan dan pendidikan di Biak memang masih kurang jika dibandingkan dengan di Jayapura, Manokwari, dan Sorong (maklum, ketiga kota itu adalah yang terbesar dan termaju di Papua). Pada tahun 2011 Kabupaten Biak Numfor memiliki 250 sekolah yang meliputi 19 Taman Kanak-kanak (terpusat di Distrik Biak Kota dan Distrik Samofa masing-masing sebanyak 7 dan 9, sedangkan tiga distrik lain yaitu Distrik Numfor Timur, Distrik Biak Timur dan Distrik Warsa hanya terdapat 1 TK, dan belum ada TK yang beroperasi di distrik lain), 161 Sekolah Dasar/1 Madrasah Ibtidaiyah, 46 SLTP/ 1 Madrasah Tsanawiyah, 16 SMU dan 6 Sekolah Kejuruan. Sementara itu terdapat 11 perguruan tinggi yang beroperasi di Kabupaten Biak Numfor yaitu IISIP YAPIS, Akademi Perikanan Kamasan Biak, Akademi Teknik Biak, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Biak, Akademi Pariwisata, Universitas Cendrawasih (kelas ekstensi), Akademi Kebidanan Biak, Akademi Keperawatan Biak, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Biak, Institut Kristen Papua, dan Sekolah Tinggi Agama Kristen Oikumene.

Biak juga memiliki beberapa Gereja berukuran besar (lagi-lagi termasuk paling besar jika dibandingkan dengan Gereja-Gereja di kota-kota kawasan Teluk Cendrawasih). Gereja-gereja itu adalah Gereja Immanuel Agung Samofa, Gereja Maranata, Gereja Eben-Hezer, dan Gereja Katolik (yang sangat indah). Dinding pagar bagian dalam Gereja Katolik dihiasi oleh Relief tentang perjalanan tokoh-tokoh Alkitab dan para Santo. Saya masih ingat saat masih SD, pada masa-masa menyambut Paskah kami akan diajak untuk melakukan jalan salib dengan mengelilingi relief-relief di pagar Gereja. Suster dan guru yang membimbing kami sangat pandai bercerita, dia menjelaskan tentang gambar-gambar tersebut dan kami selalu mendengarkan dengan baik serta selalu merasa tertarik dengan cerita beliau-beliau itu (walaupun dari tahun ke tahun gambar-gambar di relief itu tidak pernah berubah). Didepan Gereja Katolik ada patung setengah badan Komodor Yos Sudarso. Pahlawan Nasional ini sangat dihormati oleh warga Biak, sehingga dibangun patung untuk menghormatinya. Patung sang komodor ini dikelilingi oleh taman kecil yang cantik (dulu).

Patung Komodor Yos Sudarso

Dulu, kota ini juga memiliki Masjid yang sangat besar yaitu Masjid Baiturrahman Biak yang memiliki halaman yang luas. Saya dan teman-teman sering bermain dihalaman Masjid ini, sayangnya Masjid ini hancur karena gempa, namun sekarang Masjid itu telah direnovasi dan kembali berdiri megah. Selain itu, Biak juga memiliki Kompleks Wihara yang luas karena pemeluk Budha dari etnis Tionghoa di pulau ini cukup banyak. Wihara ini sering saya kunjungi karena dulu Saya tergabung dalam klub Taekwondo-nya. Meskipun agama Hindu adalah agama paling minoritas di pulau ini namun pulau ini juga memiliki Pura, sayangnya Saya tidak ingat pernah mengunjungi Pura di Biak.

Kota Biak juga memiliki fasilitas olahraga yang cukup lengkap. Kota ini memiliki stadion kecil namun lengkap dengan lintasan lari dan fasilitas atletik lainnya yang (katanya) merupakan yang terbaik di Teluk Cendrawasih. Kota ini juga memiliki beberapa lapangan tenis, Gedung Olah Raga (GOR), dan beberapa tempat pertemuan (convention hall) kecil dan menengah

Pulau ini juga memiliki Kepolisian Resor (Polres) dengan 4 Kepolisian Sektor (Polsek) dan dikelilingi oleh 3 institusi TNI (Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara), terkadang disaat-saat tertentu ada latihan pesawat tempur, yang bagi kami (para anak kecil) adalah sebuah pertunjukkan yang luar biasa.

Sayangnya, semua kelebihan kuantitas prasarana pulau ini tidak begitu berpengaruh positif pada tren perekonomian pulau ini. Letak pulau ini sebenarnya sangat strategis, yaitu berada di sebelah utara daratan Papua dan berseberangan langsung dengan Samudera Pasifik. Posisi ini seharusnya menjadikan Kabupaten Biak Numfor sebagai salah satu tempat yang strategis dan penting untuk berhubungan dengan dunia luar terutama negara-negara di kawasan Pasifik, Australia atau Filipina. Letak geografis ini memberikan kenyataan bahwa posisinya sangat strategis untuk membangun kawasan industri, termasuk industri pariwisata, namun pertumbuhan industri di Kabupaten Biak Numfor dalam beberapa dekade ini terasa stagnan, bahkan mengalami penurunan. Hal ini dirasakan semenjak tutupnya Hotel Bintang Lima pertama di Papua, yaitu Hotel Marauw, dan terhentinya pabrik pengalengan ikan Biak Mina Jaya (lebih memprihatinkan lagi adalah Hotel Marauw hancur akibat penjarahan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab). Namun, Biak tetap menyimpan segudang potensi pariwisata yang tidak dimiliki di tempat lain.

Hotel Marauw Dulu (atas) dan sekarang (bawah)


Ada dua cara untuk mencapai Biak. Pertama adalah dengan pesawat. Saat ini ada tiga maskapai penerbangan yang melayani rute dari Jakarta menuju Biak. Jika menggunakan pesawat dari Jakarta, Anda akan transit satu kali di Makassar. Waktu tempuh kurang lebih 4,5 jam, namun karena perbedaan zona waktu (Papua 2 jam lebih cepat dari Jawa, dan satu jam lebih cepat dari Sulawesi dan Bali) mengakibatkan jika Anda berangkat jam 9 malam maka anda baru akan tiba jam setengah 5 pagi di Bandar Udara Frans Kaisiepo yang merupakan bandar udara Internasional pertama di wilayah Papua (Dekade tahun awal 1990-an, Kota Biak pernah melayani rute penerbangan Internasional Bali-Biak-Honolulu-Los Angeles, namun sayangnya rute penerbangan Internasional ini tutup) dengan panjang landasan pacu hampir 3,6 km. Area Bandara ini sangat besar jika berbanding dengan luas kota ini. Area bandara ini dulu sering digunakan oleh Saya, adik-adik Saya, dan teman-teman sebagai jalan pintas menuju sekolah kami di SD YPPK yang masih satu kompleks dengan Gereja Katolik. Pulang sekolah, kami juga melewati kawasan bandara itu dan menyebrang di ujung landasan pacu. Jika pesawat akan turun maka beberapa menit sebelumnya sirine panjang akan berbunyi sehingga kami dapat memilih untuk cepat-cepat berjalan terus atau kembali (tergantung mana yang paling dekat), dan kalau terlihat petugas bandara yang sedang berpatroli (patroli rutin tiap kali pesawat akan turun atau naik) maka kami akan dijemput dan dibawa ke posisi teraman yang paling dekat dengan posisi kami saat itu. Pintu lintasan bagi kendaraan bermotor juga akan ditutup saat sirine berbunyi. Biasanya juga saat berjalan pulang, kami akan mencari belalang di rumput-rumput tinggi di sekitar bandara itu, kalau tidak mendapat belalang maka kami akan mencari tumbuh-tumbuhan liar yang berwarna-warni yang bisa mengeluarkan warna jika dihancurkan lalu kami menggunakan itu untuk mewarnai kuku tangan kami. Kami juga sering mencari beberapa tanaman yang bunga-nya menghasilkan cairan manis, begitu mendapatkan bunga itu, kami akan mengumpul bunganya banyak-banyak lalu berlomba menghisap dan menelan cairan manisnya (^,^).


Bandar Udara Frans Kaisiepo


Oke, cara Kedua untuk mencapai Biak adalah dengan Kapal Laut, namun cara ini tidak efisien jika anda berangkat dari Jawa. Butuh waktu 5 hari dari Jakarta untuk tiba di Biak dengan menggunakan kapal laut, tapi jika Anda menuju Biak dari Sulawesi, atau Ambon dan Ternate, atau kota-kota di area Kepala Burung Papua (Sorong dan Manokwari), atau Kota Jayapura, atau kota-kota di area Teluk Cendrawasih, maka kapal laut bisa menjadi pilihan yang tepat. Saat ini ada dua kapal milik PT.PELNI yang berlayar ke Biak dari Pulau Jawa yaitu KM.NGGAPULU dan KM.GUNUNG DEMPO.


Pelabuhan Laut Biak (Atas) & Pemandangan Laut di Bawah Jembatan Dermaga


Anda tidak perlu khawatir dengan transportasi darat di pulau ini. Untuk transportasi darat panjang jalan di Kabupaten Biak Numfor mencapai 703,74 Km yang terdiri dari Jalan Nasional (65,66 Km), Jalan Provinsi (193,51 Km), dan Jalan Kabupaten (444,56 Km). Dari total panjang jalan tersebut, 96,9 persen Jalan Provinsi sudah diaspal, dan 92,13 persen Jalan Kabupaten sudah diaspal.



Saat berada di dalam kota, cobalah mengunjungi Jalan Imam Bonjol yang merupakan pusat kota disaat sore hari hingga malam. Sepanjang jalan tersebut Anda akan menemukan swalayan, Bank, rumah makan, hingga pasar (pasar ikan). Area disekitar pasar ikan ini memiliki pemandangan laut yang bagus, dan pasar ikan di Biak (yang walaupun bagi orang Biak tempatnya kotor dan berbau) merupakan pasar ikan yang bersih dan rapih jika dibandingkan dengan pasar ikan di daerah lain (khususnya Jakarta!). Di kawasan Imam Bonjol, Anda bisa menggunakan ojek tujuan dalam kota, bisa juga jika menggunakan angkot. Anda pun bisa menyewa mobil dengan membayar Rp 500.000 per hari tanpa supir. Anda tidak perlu khawatir saat berkendara di kota ini ini. Selain relatif sepi, jalan raya di pulau ini sangat lebar jika dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang ada, namun anda harus menggunakan atribut dan surat-surat berkendara dengan lengkap (seperti helm, SIM, dan STNK) karena jika tidak maka anda akan dipermalukan oleh polisi lalu lintas yang bertugas. Jika anda sampai tertangkap maka anda akan disuruh turun dari motor dan mendorong motor dengan jarak yang cukup jauh, atau disuruh jalan kaki hingga tidak terlihat lagi oleh pak polisi itu, dan jika sudah tertangkap, lebih baik jangan coba-coba memberi suap pada polisi-nya, karena anda justru akan semakin dipermalukan. Hal ini juga membuat lalu-lintas pulau ini sangat tertib. Jarang sekali terlihat ada kendaraan yang berhenti jauh didepan garis STOP di lampu merah, dan juga semua pengendara melaju dijalur kiri, meskipun jika dia akan belok ke kanan namun para pengendara tetap akan mengambil jalur kiri agar kendaraan dari arah berlawanan tidak terhalang saat ingin berbelok. Mirip di negara-negara maju..............

Faktor pendukung-nya adalah karena polisi-polisi lalu-lintas di Biak terkenal dengan ketegasannya (tepatnya galak).

Penginapan di pulau ini juga cukup memadai dan jumlahnya banyak. Walaupun statusnya sebagai Kota Jasa dan Kota Pariwisata masih belum memenuhi syarat, namun penginapan di pulau ini jauh lebih baik dan relatif paling lengkap dari kota-kota lainnya di Teluk Cendrawasih. Saat Anda keluar pintu bandar udara, ada sebuah hotel bernama Aerotel Irian. Hotel ini bagus dan memiliki fasilitas yang cukup lengkap (wifi dan kolam renang) dengan harga per malam sekitar Rp 480.000. Jika ingin mencari penginapan yang lain, Anda bisa mencoba sejumlah hotel di tengah kota seperti Hotel Arumbai (wifi dan kolam renang), Hotel Basana Inc, Hotel Titawaka, Hotel Mapia di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Hotel Nirmala Beach Hotel di Jalan Sorido Raya, dan beberapa hotel kecil yang masih berada di pusat kota. Setahu Saya, semua hotel di Biak menyediakan sarapan. 

Biak memiliki berbagai tempat wisata, mulai dari wisata alam, wisata pantai, hingga wisata sejarah. 

Tempat wisata sejarah di pulau ini antara lain adalah Goa Binsari (atau Goa Jepang) yang menjadi tempat persembunyian tentara Jepang pada Perang Dunia II (sekitar 30 menit dari kota), Goa Lima Kamar (juga tempat persembunyian tentara Jepang pada Perang Dunia II), Monumen Perang Dunia II, dan peninggalan Perang Dunia II dibawah laut. Biak juga masih menyimpan banyak peninggalan era Belanda, termasuk perumahan bergaya Belanda yang masih ditempati oleh penduduk yang dapat dijumpai di banyak tempat di Biak. Biak juga masih memiliki landasan pacu lama yang sudah ada sejak Perang Dunia II yang pernah digunakan oleh Belanda dan Jepang saat perang dulu, hanya saja sebaiknya anda jangan melewati landasan tua itu sendirian atau hanya dengan beberapa orang yang jumlahnya kurang dari 5 orang. Dulu saya dan teman-teman sering menggunakan landasan pacu tua ini sebagai jalan pintas untuk pulang ke rumah sepulang sekolah (dan kalau orang tua kami tahu akan hal itu, kami pasti langsung di "rotan"). Hanggar-hanggar pesawat jaman dulu juga masih berdiri tegak disamping landasan pacu tua yang sangat besar tersebut.

Monumen Perang Dunia II di Paray




Beberapa Peninggalan Perang Dunia II di Musium Binsari




Selain rumah-rumah bergaya Belanda, Anda juga dapat melihat rumah-rumah adat Biak yang berbeda dari rumah-rumah adat Papua lainnya. Selama ini yang diketahui publik adalah bahwa rumah adat Papua bernama Honai (yang berbentuk seperti setengah tempurung kelapa yang terbalik), namun Biak memiliki rumah adat sendiri yang bernama Rumsram (berbentuk perahu terbalik). 

Anda juga dapat mengunjungi mercusuar tua (water tower) di depan pelabuhan (walaupun kemungkinan Anda tidak dapat masuk dan naik keatas mercusuar ini). Mercusuar ini tidak begitu tinggi dan besar (mercusuar ini tidak perlu terlalu tinggi karena terletak di bukit) namun mercusuar ini merupakan saksi bisu dari banyak peristiwa di Biak, termasuk peristiwa kerusuhan berdarah tahun 1999 terkait pengibaran Bendera Bintang Kejora yang melanda seluruh Papua. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa paling traumatis bagi seluruh penduduk Biak. Dulu di depan mercusuar ini dan di lereng bukit sekitar mercusuar (bukit didepan pelabuhan) ada taman kecil dan sederhana. Saat pertama dibuat, taman itu sangat menarik. Saya, teman-teman, dan saudara sepupu saya sering bermain disitu, tapi lama kelamaan taman itu tidak terawat.

Mercusuar (sebenarnya adalah Water Tower) Kota Biak


Selain bangunan-bangunan dan benda-benda tua, Biak juga memiliki memiliki hal-hal tua lainnya. Salah satu yang paling terkenal adalah Pohon Beringin di Kawasan Pertokoan Selat Makassar. Sedari Saya kecil hingga meninggalkan Biak lalu kembali lagi ke Biak lalu pergi lagi, pohon ini masih tetap ada. Ada banyak pohon beringin di Biak seperti pohon beringin depan Puskesmas depan pelabuhan, dan pohon-pohon lainnya, namun Pohon Beringin di Kawasan Pertokoan Selat Makassar yang paling terkenal. Pohon Beringin di Kawasan Pertokoan Selat Makassar juga merupakan salah satu landmark di Kota Biak.

Pulau Biak memiliki dataran flat yang cukup luas di tiap tepi pantai, lalu ditengah-tengah pulau, ada bukit-bukit yang cukup tinggi (yang bentuknya seperti anak tangga, makin ke tengah bukitnya makin tinggi) dan semuanya terbentuk dari karang. Nah jika ingin melihat pemandangan kota dan laut dari ketinggian, kita dapat mengunjungi tempat yang bernama Pintu Angin (dekat Goa Jepang). Dari tempat itu, kita dapat bersantai sambil menikmati pemandangan Bandar Udara Frans Kaisiepo dan laut di depannya. 

Wisata alam pulau ini antara lain adalah Air Terjun Wafsarak. Air terjun setinggi kurang lebih 8 meter ini menyajikan keindahan dan ketenangan di tengah teduhnya pepohonan. Anda bisa menikmati kesejukan air berwarna biru di kolam alam yang berada tepat di bawah air terjun. Ada juga kali kecil di Biak Timur yang ramai pengunjung yaitu Kali Paray (Kolam Biru Paray). Kali ini sangat sejuk (lebih tepatnya sangat dingin bagi warga Biak yang terbiasa dengan hawa panas). Air dari kali kecil mengalir langsung dari dalam bongkahan batu karang, dan meskipun dekat pantai namun air di kali ini adalah air tawar. Keunikan lainnya adalah meskipun kali ini sangat kecil dan pendek namun arusnya cukup kencang, dan juga ada beberapa bagian dari kali ini yang cukup dalam bagi anak kecil (soalnya waktu kecil Saya pernah hampir tenggelam disitu    T_T   ).



Air Terjun Wafsarak (atas) dan Kolam Biru Paray (bawah)


Bagi penggemar wisata bawah laut, Biak menjadi salah satu referensi tempat menyelam. Gugusan kepulauan Padaido merupakan salah satu lokasi dengan puluhan titik penyelaman yang menawarkan keindahan terumbu karang beserta spesies ikan yang beragam. Salah satu titik selam yang menarik ada di sekitar Pulau Nusi, Pulau Rurbas, kemudian di lokasi jatuhnya pesawat pembom Catalina milik tentara sekutu. Anda bisa menghubungi manajemen hotel tempat Anda menginap atau bisa juga langsung ke Dinas Pariwisata di Kabupaten Biak Numfor. Dinas Pariwisata menyediakan informasi, alat menyelam, pemandu hingga akomodasi untuk menyelam.

Pantai Nusi di Kepulauan Padaido


Wisata pantai pulau ini juga banyak, maklum-lah pulau ini dikelilingi pantai (namanya saja pulau). Ada beberapa pantai yang telah dikomersilkan yaitu Pantai Yendidori, Pantai Batu Pica, Pantai Warsa, Pantai Bosnik, Pantai Saba, Pantai Paray, Pantai Barito, Pantai Marauw, dan masih banyak pantai yang lebih kecil lainnya. Anda juga dapat mengunjungi dan menikmati pemandangan-pemandangan desa-desa tepi pantai di daerah Biak Barat (Napdori, Krisdori, dll) dan Biak Timur (Bosnik, Paray, Saba,dll).

Pemandangan Tepi Pantai Saat Melalui Desa-desa di Biak Timur



Pantai Bosnik


Pantai Batupica


Jika tempat-tempat itu terlalu jauh atau telah Anda lewati, Anda dapat menikmati pemandangan pantai di dekat kota yaitu di Pantai Tiptop (tidak begitu jauh dari Pasar Ikan), jika musim durian tiba maka perahu-perahu yang membawa durian dari luar Pulau Biak akan berlabuh dan bongkar muatan di tepi pantai ini, sehingga kita bisa menikmati durian fresh dengan harga yang lebih murah dari harga di pasar. Selain seputaran Biak Kota, Biak Timur, dan Biak Barat, anda harus mengunjungi daerah Biak Utara. Pantai Korem dan Jembatan Korem menawarkan keindahan yang luar biasa......... Rugi jika anda tidak sampai disana. Selain menikmati pantai dan menyelam, Anda juga dapat memancing. Biak sangat kaya akan hasil laut dan memiliki berbagai jenis ikan. Sayang sekali jika tidak sempat memancing di Biak. 

Selain wisata alam, Biak juga memiliki tempat wisata lain yaitu Taman Burung dan Taman Anggrek Anggrek di Jalan Raya Bosnik (sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Biak ke arah Biak Timur). Tidak jauh dari tempat ini Kita bisa menemukan pasar Bosnik (tiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu merupakan hari pasar dan Anda bisa membeli ikan segar). 

Hal yang menarik lainnya (yang walaupun belum dimasukkan dalam tujuan wisata) adalah perayaan Hari Raya Keagamaan di pulau ini. Kehidupan beragama di pulau ini sangat baik dan menjunjung tinggi toleransi. Pulau ini merayakan semua hari raya besar keagamaan dengan meriah karena penduduk yang tidak merayakan hari raya keagamaan yang sedang berlangsung akan saling mengunjungi penduduk lain yang sedang merayakan hari raya tersebut. Kami, saat masih anak-anak, akan mengunjungi rumah demi rumah dengan membawa kantong plastik atau tas untuk mengisi kue-kue dan minuman, walaupun penghuni rumah yang kami kunjungi itu tidak kami kenal, dan itu berlaku pada hari raya Natal & Tahun Baru, Paskah, Lebaran, Idul Adha, dan Imlek.

Pada saat menjelang Natal (dimulai pada awal Desember), kami akan sibuk menyalakan lampu warna-warni, dan ini berlaku disetiap kompleks perumahan dan pusat kota sehingga anda dapat melihat pemandangan lampu-lampu warna-warni yang meriah disetiap sisi jalan, namun kawasan Yafdas dan Amroben merupakan kawasan pemukiman penduduk dengan lampu-lampu yang paling meriah. Saat itu, kami juga akan mengejar-ngejar Sinterklas dan berusaha mendapatkan permen atau biskuit yang dilemparkan sang Om Santa, dan kami juga mengejek-ngejek si Zwaterpiet (Piet Hitam), kami bertingkah mulai dari membuat si Piet Hitam itu berakting marah hingga biasanya dia menjadi marah betulan dan benar-benar mengejar kami dengan kesungguhan hati (^..^). Lalu saat Natal tiba, kami, para anak kecil, akan sibuk mengumpulkan kue-kue kering dari tiap-tiap rumah yang merayakan Natal yang mampu kami datangi sambil mengucapkan (lebih tepatnya, berteriak...) “Selamat Nataaaaal”. Bukan hal yang mustahil dan luar biasa jika kami bisa mengunjungi Rumah Kediaman Bupati dan para pejabat teras Kota Biak, karena sudah merupakan kebiasaan untuk memberikan kue dan/atau minuman pada anak-anak kecil saat hari raya. Biasanya kami akan membanggakan isi plastik kami masing-masing. Jika ada yang jumlah kue-nya lebih sedikit maka dia akan berusaha membanggakan kue-kuenya dengan berkata: “Sa pu lebih maaahal!” (Saya punya lebih mahal), atau “Sa pu lebih eeenak!” (Saya punya lebih enak), atau “Sa pu lebih andaalan!” (Saya punya lebih mantap), lengkap dengan logat khas Biak (yang sangat ber-‘nada’). Hahahahahaha..... Begitulah kami saat itu. 

Jika Tahun Baru tiba maka langit-langit kota Biak akan menjadi terang benderang oleh kembang api. Saat itu, seakan-akan seluruh kota sedang mengadakan festival kembang api. Hal ini dikarenakan kota Biak adalah kota kecil sedangkan sebagian besar penduduk-nya seakan-akan mampu membeli kembang api ukuran sedang hingga ukuran yang sangat besar. Pada perayaan Paskah, kami akan sibuk mempersiapkan pelita atau obor kecil di-depan rumah, dan juga akan ada perkemahan disetiap Gereja, sehingga pada saat ini seluruh kota akan diterangi oleh pelita dan obor ditiap sisi jalan, dan saat Paskah tiba, akan ada pawai obor pada waktu subuh saat matahari akan terbit, dan setelah itu kami (para anak kecil) akan berebut mencari telur.

Dekorasi Menyambut Paskah


Pada saat Lebaran, kami para anak kecil dari semua agama dan golongan akan kembali sibuk mengunjungi rumah demi rumah dengan membawa kantong plastik atau tas dengan tujuan untuk mengumpulkan kue dan ketupat sambil berkata dengan semangat, “Selamat Hari Lebaraaaan”, dan perlu Anda ketahui juga, Anda akan jauh lebih merasakan suasana Imlek di Papua khususnya di Biak (karena Kota Biak adalah kota kecil, sedangkan penduduk dari etnis Tionghoa-nya banyak) ketimbang di Jakarta atau di Surabaya. Di Biak, hampir semua orang di pulau ini akan ikut meramaikan perayaan Imlek. Saat itu, tiap sore (biasanya seminggu sebelum Imlek) kami akan pergi ke pusat kota karena di tiap-tiap toko dan swalayan milik warga Tionghoa disana akan ada pertunjukan Barongsai dan kadangkala ada atraksi Taekwondo dari klub Taekwondo Wihara, lalu pada saat Imlek, kami akan berburu Angpao di tiap rumah penduduk yang merayakan Imlek. Di Biak, hampir tidak ada batasan-batasan sosial antar agama, suku, dan ras/etnis, sehingga kami dapat dengan mudah berbaur dengan warga Tionghoa. 

Hanya perayaan Hari Besar Agama Hindu sajalah yang kurang meriah, karena penganut Hindu sangat sedikit, dan juga Hari Raya Nyepi mengharuskan para penganut Hindu untuk me-Nyepi (tidak melakukan aktifitas apapun), dan kami pun sangat menghargai hal ini dengan tidak mengganggu para penganutnya, namun biasanya kami tetap memberikan ucapan selamat hari raya pada teman kami setelah hari raya Nyepi itu selesai. Begitulah suasana perayaan-perayaan di Biak. 

Oh ya, Kota Biak dan seluruh kota di Papua memiliki beberapa tambahan hari libur yaitu Hari Raya Pentakosta dan Hari Masuknya Injil ke Tanah Papua. Kedua hari raya ini adalah hari raya Kristiani, selain itu, pada hari raya Natal, Paskah, dan Pentakosta di hari kedua, semua instansi pemerintah ditutup dan operasional bank juga berhenti. Jadi sebaiknya anda harus sudah menyelesaikan semua aktivitas dan transaksi sebelum hari raya-hari raya itu tadi.

Kota ini juga termasuk paling sering menyelanggarakan karnaval dan festival-festival adat, yang bertujuan mengajak seluruh suku Biak untuk berkumpul di Pulau Biak. Mungkin memang tidak terlalu banyak namun jumlah even-nya jauh lebih banyak dari kota-kota lain di Papua. Semoga kelak perayaan-perayaan keagamaan dan festival-festival itu itu mampu menarik wisatawan.

Karnaval Menyambut 17 Agustus


Saat mengunjungi Biak, Anda juga harus membawa oleh-oleh dari Kota Biak. Namun, sayangnya di Kota Biak (setahu saya) hanya ada satu toko cinderamata, yaitu di Iriani Art Shop (di Jalan Imam Bonjol). Di sini Anda bisa mendapatkan berbagai jenis oleh-oleh, seperti gantungan kunci khas Papua, patung, kaus Papua, hingga kain batik. Oh ya, Jangan lupa beli Roti Aru. Toko Roti Aru ini sudah ada sejak dulu sekali dan merupakan salah satu toko roti ternama di Papua (saya rasa ini toko roti yang paling terkenal di seluruh Papua sampai sekarang). Bangunan toko ini tidak begitu besar namun toko roti ini tetap menjaga rasa roti-rotinya sehingga hingga kini rasa roti di toko ini tetap sama dengan saat saya pertama kali datang ke Biak. Anda juga harus mencoba ikan asar (ikan asap) dan ikan asin yang dibawa dari Numfor (kualitasnya paling bagus dan rasanya paling enak dibandingkan dari tempat lain).

Toko Roti Aru


Selain itu anda juga harus mencicipi makanan-makanan yang ada di Biak, seperti papeda (makanan khas Papua yang terbuat dari sagu yang disantap dengan sup ikan), sagu kering, barapen (bakar batu, biasanya makanan yang dipanggang adalah ubi, ikan, dan daging), dan juga mie ayam. Mie ayam di Biak adalah mie ayam yang paling enak. Anda juga dapat menikmati makanan-makanan khas Makassar di kawasan Pertokoan Selat Makassar (dekat Hotel Arumbai), juga makanan-makanan khas Tiongkok di Restoran Asia (di kawasan Kota Lama) dan Restoran Jakarta (di Jl. Imam Bonjol) yang keaslian cita-rasanya sangat terjaga. Kota ini juga memiliki Rumah Makan Padang kelas menengah, Rumah Makan Khas Manado, Rumah Makan Khas Jawa, dan lain-lain. Rata-rata restoran dan rumah-makan di Biak tergolong bersih dan rapih.




Hmmmmmmmmmmmmmmm........ Cukup panjang ya saya bercerita tentang pulau ini. 

Jujur, saya tidak pernah melupakan kehidupan saya di pulau ini. Saat ini, walau saya memiliki rumah di Biak tapi saya sudah tidak menetap di pulau ini. Sejak tamat SMP saya meninggalkan pulau ini untuk melanjutkan pendidikan di Sulawesi Utara dan kemudian melanjutkan kuliah di Jakarta, dan Orang tua saya juga telah pindah ke kota lain di Papua. Namun kemana-pun saya pergi, saya tidak dapat melupakan pulau ini. Sesekali saya mengunjungi pulau ini dan tinggal di rumah tempat saya dan adik-adik saya dibesarkan. Jika saya berkunjung ke Biak, beberapa teman saya yang menetap disana menemani saya jalan-jalan dan mengunjungi tempat-tempat wisata, tempat makan yang baru, dan tempat-tempat yang pernah menjadi bagian dari hidup kami dulu, termasuk masa-masa singkat Saya ketika bergabung dengan salah satu klub Taekwondo disana, saat itu Saya dan teman-teman sering dikejar sekawanan anjing saat sedang lari keliling lapangan untuk pemanasan (herannya, anjing-anjing itu seakan-akan tahu rute lari kami, mereka terus mengejar kami sembari kami lari berputar-putar keliling lapangan hingga tak terasa kami telah menyelesaikan jumlah lintasan yang diwajibkan pelatih pada kami -____- ).

Saya juga masih ingat masa-masa sekolah di sekolah dasar dan SMP termasuk sebagian besar nama dan wajah teman-teman saya saat itu. Saya juga selalu ingat saat saya dan teman-teman saya melayani di salah satu Gereja disana dan mengunjungi rumah-rumah anggota remaja kami dan mengajak para anak-anak yang putus sekolah untuk mengikuti sekolah minggu, juga saat kami mengunjungi sebuah desa terpencil di Biak Barat yaitu Desa Krisdori, dan yang jelas Saya tidak akan melupakan masa-masa saat saya masih sering berkumpul dengan keluarga, ayah, ibu, adik-adik, dan saudara-saudara sepupu saya, lalu kami bersama-sama pergi ke berlibur ke pantai atau berburu di hutan. 

Hampir di setiap sudut kota ini menyimpan kenangan-kenangan berharga, namun meskipun saya selalu menyimpan kenangan saya di pulau ini termasuk kenangan-kenangan tersendiri di beberapa tempat di kota ini, saya selalu berharap kelak kota ini akan berubah menjadi jauh lebih baik dan berkembang dan juga maju. Saya ingin kelak kemajuan pulau ini menciptakan sejuta alasan baru bagi teman-teman saya, yang pernah tinggal bersama-sama dengan Saya di pulau ini, untuk kembali lagi ke pulau ini. Mungkin bagi sebagian dari mereka, kembali ke Biak bukanlah untuk menetap, namun setidaknya kami bisa bertemu kembali di pulau tempat kami bermain dulu. Saya yakin tidak ada satupun dari kami yang melupakan pulau ini, kami hanya harus membuat akronim dari nama pulau ini menjadi kenyataan.


Biak, Bila Ingat Akan Kembali......


-Devy.R-
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber data:

Sumber Gambar:
Koleksi Foto Pribadi
http://etexmarl.blogspot.com
www.panorama.com
www.traveling.com
www.wisata.kompasiana.com