Translate

Rabu, 13 September 2017

PENDETA DAN POLITIK




Syalom saudara-saudara seiman

Sebagai umat Kristen, kita selalu dituntut untuk hidup sesuai prinsip-prinsip kekristenan, dan sebagai jemaat gereja tentu kita akan menjadikan sikap dan tindakan para pemimpin gereja sebagai teladan. Jika pemimpin berbelok ke kanan maka biasanya jemaat yang berbelok ke kiri akan dianggap ‘sesat’, demikian juga sebaliknya, jika pemimpin ke kiri atau keatas dan jemaat yang kearah sebaliknya biasanya akan dipandang sebagai orang yang ‘menyimpang’. Entah apakah jemaat tersebut memang benar-benar sesat atau tidak, menyimpang atau tidak.

Saya lalu bertanya-tanya, apakah pemimpin-pemimpin gereja selalu benar? Dalam hal ini maksud saya adalah gereja sebagai organisasi duniawi, bukan sebagai tubuh Kristus sebab Kristus-lah kepala gereja.

Saya meyakini jika Tuhan akan memakai siapapun yang dikehendaki-Nya untuk bekerja bagi-Nya, apakah kita adalah hamba yang taat ataukah seorang krimanal. Tidak ada yang menjadi halangan bagi setiap orang dimata Tuhan untuk menjadi pelayan-Nya jika Dia menghendaki. Tetapi, yang ingin saya sorot adalah orang Kristen yang ‘sangat paham sekali’ (pakai banget) tentang dogma Kristiani, dasar-dasar pelayanan Kristen, dan ketentuan gereja lalu kemudian menjadi orang terdepan yang melanggarnya.

Kita tentu tidak asing jika mendengar tentang pendeta yang menjadi politisi, atau menjadi tim sukses seorang politikus, atau bahkan anggota partai politik. Tidak menjadi masalah jika kemudian mereka mengundurkan diri dari tugas-tugas pelayanan gereja, mungkin memang talenta dan panggilan mereka memang dibidang politik. Tetapi, bagaimana jika mereka menjalani aktifitas yang dikenal dalam perpolitikan Indonesia dengan sebutan “rangkap jabatan”?

Masih banyak yang bertanya-tanya, apakah orang Kristen diperbolehkan berpolitik?

Menurut pandangan saya, orang Kristen diperbolehkan untuk berpolitik, karena politik sudah dikenal dalam Alkitab, sebab Alkitab juga mengenal sistem demokrasi. Bedanya, demokrasi di Alkitab bukanlah demokrasi liberal. Lalu, apakah sebuah demokrasi bisa dijalankan tanpa politik? Well, jangankan demokrasi, sistem komunisme dan bahkan sistem monarki absolut saja memerlukan politik. Jadi, jawabannya orang Kristen diijinkan terjun ke dunia politik.

Menjadi orang politikus sama bolehnya dengan menjadi musisi atau entertainer. Seorang politikus Kristen boleh bekerja dalam pemerintahan yang menerapkan system demokrasi liberal dan sekuler, dan bahkan sistem pemerintahan Syariah Islam, sama seperti seorang musisi dan entertainer Kristen yang mengeluarkan karya-karya sekuler mereka. Yang tidak diperbolehkan adalah menjadi pembawa-pembawa liberalisme dan sekulerisme dalam gereja.

Lalu, jika para politikus Kristen melakukan kesalahan, kira-kira siapakah yang mengkoreksi mereka? Tentu saja sebagai saudara-saudara seiman kitalah yang harus mengkoreksi dan mendoakan mereka.

Diatas para jemaat, siapakah yang ‘paling wajib’ sebagai ‘utusan Tuhan’ untuk menegor, mengkoreksi dan mendoakan mereka? Mengenai pertanyaan ini, tentu pikiran kita akan langsung tertuju pada sosok pendeta jemaat kita masing-masing. Pada poin inilah, seorang pendeta Kristen secara luas dilarang terjun ke dunia politik.

Maksudnya, apakah dunia politik tidak bermoral dan tidak Kristiani?

Oh no no…. Tidak demikian. Politik adalah salah-satu ilmu didunia ini yang diciptakan oleh Tuhan.

Menurut pandangan saya, kehadiran politik di dunia sama dengan kehadiran musik sekuler dan karya-karya seni sekuler. Sama-sama diijinkan dan bahkan diciptakan oleh Tuhan. Oleh karena itu saya merasa sangat aneh jika ada orang-orang Kristen yang mengkritik dan mencap musik sekuler, apakah musik Indonesia ataukah K-pop ataukah musik barat sebagai bagian dari kuasa kegelapan dan menyamaratakan semua musisi didunia sebagai pengikut lusifer, dan mengabaikan semua pelayanan mereka pada Tuhan melalui talenta mereka dan karya-karya inspiratif mereka. Tetapi, jika ada salah-satu atau beberapa musisi dan entertainer yang dikritik itu memberikan sumbangan ke gereja, maka kita-pun senang dan menerima sumbangan mereka. Contohnya Michael Jackson. Saya sering membaca buku-buku yang diterbitkan oleh sekte Saksi-saksi Yehuwa, denominasi dimana Michael Jackson dan sebagian besar keluarganya bergabung. Aliran Saksi-saksi Yehuwa sangat menentang kegiatan seni sekuler, apakah itu senimannya atau karya-karya seni sekuler. Tapi….. Catat ya ada tapi-nya, saat Michael Jackson menjadi musisi sukses, beliau lalu menjadi salah-satu donatur terbesar bagi Saksi-saksi Yehuwa. Dan…… Tentu saja sumbangan Michael diterima dengan tangan terbuka.

Ini persis sama dengan saat ada pemimpin-pemimpin gereja yang membawa masuk politik ke dalam gereja dan berteriak di mimbar-mimbar untuk mempromosikan jagoan politiknya atau mendiskreditkan lawan politik jagoannya itu, tetapi saat para pesaing jagoannya itu berkunjung dan memberikan sumbangan maka tangan-pun terbuka dan wajah mereka-pun sumringah.

Melihat hal ini, saya hanya senyum-senyum. Rupanya golongan Farisi, yang persis sama dimasa pelayanan Tuhan Yesus didunia ribuan tahun lalu, masih banyak sekali.

Apa alasan paling mendasar mengapa seorang pendeta tidak boleh berpolitik?

Menurut saya, alasan paling penting adalah karena perbedaan ciri-khas yang sangat mendasar antara dunia politik dengan moralitas yang diterapkan oleh gereja.

Dalam dunia politik, orang-orang akan menggunakan segala cara agar tujuan politiknya tercapai. Berbagai cara yang ingin mereka lakukan itu lalu dipersempit oleh batasan-batasan dalam konstitusi. Tapi, jika cara mereka tidak melanggar konstitusi maka apapun itu bisa dilakukan. Ingat ya, asalkan tidak melanggar undang-undang. Yah, meskipun cara itu ada yang melanggar prinsip-prinsip hidup Kristiani. Pada posisi ini, gereja melalui pemuka-pemuka agama seharusnya menegur oknum politikus tersebut.

Lalu, jika si oknum itu berstatus sebagai pendeta, bisakah dia menegur diri sendiri? Jawabannya bisa, asalkan beliau mau. Tapi biasanya, jangankan mau menegur diri sendiri (pendeknya ‘instropeksi diri’) ditegor pendeta lain saja langsung tersinggung. 

Sebenarnya, penggunaan segala cara untuk mencapai tujuan politik bukanlah ciri-khas yang paling mendasar dalam dunia politik yang bertentangan dengan moralitas yang diterapkan oleh gereja sebab hal itu adalah keputusan masing-masing individu. Kalau mau jujur ya, pakai cara yang lurus, tapi kalau terpaksa menghalalkan segala cara yah itu pilihan, bukan salah dunia politiknya. Tapi, ada ‘satu hal’ dalam dunia politik yang wajib dilakukan oleh setiap politikus namun pantang dilakukan oleh gereja.

‘Hal’ apa itu?

Hmmm… ‘Hal ini’ cukup disebutkan hanya dengan satu kata.

KOMPROMI

Dalam politik, berbagai pihak harus melakukan kompromi agar mengurangi pertentangan, oposisi, dan tentu saja kericuhan. Apakah kericuhan di parlemen, atau kericuhan dalam kabinet presiden, atau kericuhan dalam golongan dan partai sendiri. Intinya bermacam-macam kericuhan dan pertentangan dalam dunia politik harus diselesaikan dengan kompromi. Kenapa? Sebab dalam politik mustahil jika ada satu pihak yang menang sendiri. Menang sendiri itu tidak wajar dan harus dihindari dalam dunia politik, oleh karena itu jalan kompromi wajib ditempuh.

Lalu, bolehkan gereja berkompromi?

Satu kata, TIDAK.

Begini ya, mari kita bedakan antara bekerja sama dan berkompromi. Gereja dari dulu bekerja-sama dengan berbagai pemerintahan dunia. Boleh-boleh saja memang. Tapi, jika pemerintah itu melakukan kesalahan maka gereja pantang berkompromi. 

Hitam ya hitam, putih ya putih. Tidak mungkin kita bisa mendapat cita rasa kopi murni melalui segelas kopi susu.

Asin ya asin, manis ya manis. Tidak mungkin untuk mengecap yang manis-manis dan memakan makanan yang asin lalu kita mendapatkan keduanya sekaligus dengan minum oralit.

Air laut ya air laut, air tawar ya air tawar. Tidak mungkin kita bisa mengambil air payau sebagai air minum dan sekaligus untuk membuat garam.

Berusaha memahami keadaan orang lain dan memberi dukungan moral atau bekerja sama dengan pihak lain sangat berbeda artinya dengan kompromi.

Salah ya salah, benar ya benar. Pemuka gereja tidak boleh berjalan dan berpijak dengan satu kaki di jalan raya dan kaki lainnya di trotoar.

Praktik kompromi inilah yang membuat para pendeta tidak boleh melibatkan diri dalam aktifitas politik dan dilarang membawa politik ke dalam lingkungan gereja, apalagi menjadi politikus, dan jika 'ngebet' ingin menjadi politisi maka semua 'atribut' kependetaan harus ditanggalkan. Memang, sekali ditahbiskan menjadi pendeta maka secara teologis akan selamanya menjadi pendeta. Justru karena itulah alasan terbesar para pendeta harus menjauhi politik.

Gereja dan pendeta-pendeta harus berani mengkoreksi dan pantang berkompromi, bukannya bergabung dalam ruang lingkup yang harus mereka kritisi.


-Devy.R-

----------------------------------------------------------------------------------------------