Translate

Kamis, 18 Juni 2015

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN DALAM HIDUP





Dua hari yang lalu, saya menemani seorang sahabat yang juga merupakan mantan bos saya ke bandara Soekarno-Hatta. Pesawatnya akan take off ke Singapura pada pukul 6 sore sedangkan kami baru berangkat dari hotelnya di kawasan Pecenongan pada pukul 3.35 sore. Hari itu adalah hari Selasa, dan karena bertepatan dengan jam pulang kantor maka jalanan pun mulai ramai. Walaupun beliau adalah warga negara Singapura namun beliau lebih mengenal jalanan Jakarta ketimbang saya. Beliau mengetahui tempat-tempat kuliner yang enak, tempat-tempat sejarah, dan banyak hal lainnya mengenai Jakarta. Saya sering malu. Seringkali saat saya bepergian bersama beliau, entah menggunakan taxi, bus, atau berjalan kaki, beliau akan menunjukkan kepada saya tempat-tempat yang pernah beliau kunjungi. Namun, kali ini dia tidak melakukan hal yang sama karena dia sibuk mengomel, bukan pada saya ataupun tentang saya melainkan mengomel tentang si supir taxi.

Supir taxi mungkin tidak melakukan kesalahan karena dia melewati jalan yang dianggapnya lebih cepat. Namun, kesalahannya pada penumpang (yaitu kami) adalah dia tidak mau mendengarkan pendapat kami. Sahabat saya itu sudah sangat mengenal jalan dari hotelnya menuju ke airport karena dia terlalu sering melewati jalan itu, oleh karena itu, ketika si supir mengambil jalan yang berbeda tentu saja sahabat saya ini protes. Tapi si supir tetap berkeras bahwa kami berada dijalan yang benar. Memang itu adalah jalan yang benar namun sahabat saya berpendapat bahwa jalan itu adalah jalan yang sempit dan karena akan ada banyak kendaraan yang lewat maka sudah pasti kita akan terjebak macet, demikian juga dengan tol nya, karena saat itu adalah jam pulang kerja maka akan ada banyak orang yang berpikiran yang sama dengan si supir untuk menggunakan jalan pintas. Oleh karena itu, sahabat saya menyarankan agar kita berbelok menggunakan jalan yang biasa digunakannya. Namun, si supir menjawab: "Tidak perlu, pak." Saat itulah kekesalan sahabat saya dimulai.

Kami terus menyusuri jalanan yang dipilih oleh si supir. Kami melewati jalanan yang lebih sempit dari jalanan yang biasa kami lewati jika menuju ke airport. Semakin lama, kendaraan disisi kiri dan kanan kami semakin banyak. Sahabat saya ini semakin terlihat gusar karena waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, dan akhirnya taksi kami itu pun harus bergerak sangat-sangat lambat.

Telinga saya sungguh panas mendengar omelannya. Sahabat saya terus berkata, "We are in the wrong way!!" atau "he took the wrong way!!" atau "Why he didn't want to listen to me?!!" Setiap kali mendengar omelannya, saya semakin gugup karena saya benar-benar khawatir jika dia nanti terlambat. 

"Because he thougt we are foreigner and you are an old man," jawab saya kepada sahabat saya itu ketika beliau kembali mengomel. Saya juga kaget kenapa saya menjawab seperti itu. Saat mendengar kata 'old man' sahabat saya itu menjadi semakin kesal. Beliau pun mulai mengoceh dan mengoceh. Saya dan dia memang berbeda umur sangat jauh. Umur saya baru 20an sedangkan umurnya sudah 60an. Kekesalannya memuncak saat beliau bertanya pada supir taxi apakah bisa tiba dibandara pada pukul 5 sore, dan supir taxi pun menjawab (sambil memukul stir mobil), "Aduh saya tidak bisa jamin pak." Jawaban si supir itu membuat suasana didalam taxi menjadi semakin riuh karena omelan sahabat saya. Namun, dari sekian banyak omelannya itu, dia mengucapkan satu dua kalimat yang begitu mengena dihati saya.

"Devy, in our life we will always make many decision. Maybe its not always important decision but the problem, is that a good decision or bad decision. If you make a bad decision then the next step is you should turn back to the right decision. This driver, he knows that he is wrong but he keep moving to the wrong direction.... bla bal bla bla......... if you make a wrong decision without fix it and you keep move with that decision then you will make the wrong decision and the wrong decision and the wrong decision again and again and again bla bla bla bla bla bla........ I know I was and I'm right so I don't want to change my mind, he thinks that when he able to arrive to airport then I will change my mind, bla bla bla bla bla bla..... If I know it is wrong then I decide it's wrong...... bla bla bla bla bal bla.... Never ever thinks a wrong things is the right way just because you feel sorry... bla bla bla bla bla...... this driver wants to use the short way, but you should remember Devy, the short way that you think probably is the right way or the better way than the normal way usually is the wrong way! and bla bla bla bla bla bla.........."
Demikianlah ocehan beliau. Masih banyak lagi yang yang diucapkannya namun kalimat-kalimat itulah yang paling saya ingat.

Kami tiba di bandara pada pukul 5.15 sore, dan untungnya sahabat saya masih diijinkan untuk check in dan berangkat. Setelah dia mengabari dari dalam ruangan tunggu bahwa dia bisa berangkat maka saya pun menjadi sangat-sangat lega, dan saya melanjutkan pergi ke terminal 1 (sahabat saya di terminal 2) karena saya telah memiki janji pertemuan dengan beberapa orang di bandara. Sembari menunggu mereka, saya duduk dan memikirkan kembali perjalanan saya dengan sahabat saya tadi, dan juga kata-kata yang diucapkannya.

Dalam dalam perjalanan di kehidupan ini, saya telah membuat jutaan keputusan. Tidak selamanya adalah keputusan yang penting, dan juga beberapa diantaranya adalah keputusan yang salah. Waktu masih dibangku pendidikan, apapun yang sudah saya putuskan maka saya akan ngotot mempertahankannya. Entah itu benar atau salah. Ketika saya menjadi semakin dewasa, saya mulai menjadi sangat objektif dan sangat berhati-hati saat mengambil keputusan apapun. Namun, saya belajar untuk bertangggung-jawab atas semua keputusan yang sudah saya ambil.

Saya pikir-pikir, tidak semua keputusan saya yang salah mampu saya perbaiki, namun ketika mendengar kata-kata sahabat saya itu, saya merasa bahwa dibeberapa masalah yang telah saya timbulkan, saya telah berputar kembali dari keputusan-keputusan yang salah kepada keputusan yang benar.

Saya teringat ketika masih bekerja di Papua, saya (dengan membawa predikat sebagai seorang sarjana lulusan Jakarta) memberlakukan sistem yang saya anggap benar, baik itu sistem pembukuan, sistem pembayaran, dan sebagainya karena saat itu saya adalah staf keuangan. Memang hal itu benar, tetapi tidak dilakukan ditempat yang tepat. Para pekerja dan mitra kami adalah orang-orang Papua yang berasal dari pegunungan. Saat itu pengetahuan saya tentang orang-orang pegunungan Papua sangat minim karena saya besar di daerah pesisir pantai Papua, disebuah pulau kecil di utara Papua. Saya tidak mengerti bahwa mereka tidak mengerti tentang penjelasan pembayaran yang saya buat. Saat itu saya menulis tanda (-) atau minus di perincian pembayaran mereka yang artinya jumlah pengambilan mereka diperusahaan lebih besar dibanding jumlah barang (hasil hutan) yang mereka hasilkan bagi perusahaan. Rupanya mereka tidak mengerti tanda (-) atau minus, mereka lebih mengerti jika ditulis rugi. Mereka berpikir bahwa saat itu mereka akan dibayar senilai dengan angka yang dituliskan setelah tanda minus itu. Akhirnya, perusahaan saya harus membayar Rp.23.000.000 pada para pekerja yang tengah mengamuk itu. Bos saya marah (tentunya), namun saya bertahan pada pendapat saya bahwa yang saya lakukan itu sudah benar. Beberapa lama kemudian, saya menyadari bahwa hal benar itu saya lakukan ditempat yang salah. Saya memutuskan untuk mengubah cara kerja saya dengan melakukan hal-hal yang dimengerti oleh pekerja saya, dan juga melakukan komunikasi dan bernegosiasi dengan gaya yang dimengerti oleh mereka. Tidak beberapa lama saya sudah tidak menduduki posisi sebagai seorang staf lagi melainkan sudah mampu naik sebagai Kepala Bagian PR dan juga menjadi seorang manajer. Saya harus bertemu dengan banyak orang, namun saya tidak minder berdialog dengan para CEO perusahaan besar lokal atau asing. Uniknya saya belajar melakukan negosiasi justru dari pengalaman saya bernegosiasi dari orang-orang pegunungan Papua, yang beberapa diantaranya masih buta huruf. Bagaimana saya membuat mereka mengerti dan menerima apa yang perusahaan inginkan dan putuskan. Saya belajar untuk melakukan hal-hal yang benar ditempat yang juga benar, meskipun hal-hal itu adalah hal yang sederhana. Semua itu karena saya mau mengaku telah membuat keputusan yang salah dan berputar kembali untuk mengambil keputusan yang benar.

Saya juga teringat ketika saya dengan paksa disekolahkan oleh orang-tua saya disebuah SMA swasta di Sulawesi Utara. Saat itu saya masuk asrama sekolah dan berada disana selama tiga tahun. Saya mengalami apa yang disebut shock culture karena logat kami dan kebiasaan dan juga budaya kami sangat berbeda. Saya memang orang asli Sulawesi Utara tetapi saya dibesarkan di Papua. Di Papua saya tinggal di pulau kecil yang tiap hari kami akan melihat dan menikmati pantai, sedangkan lokasi sekolah saya di Sulawesi Utara berada di pegunungan. Baru satu minggu di asrama, saya langsung jatuh sakit. Saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan dan juga budaya mereka, sehingga saya memutuskan menutup diri dan tidak mau memiliki banyak teman (karena takut diejek.) Saat itu saya tidak menyadari bahwa ketika mereka mengejek saya, sebenarnya karena mereka penasaran dengan gaya bicara saya dan kebiasaan saya dan juga dengan aliran kepercayaan saya (walaupun sama-sama Kristen namun kami berasal dari aliran yang berbeda). Saya menutup diri selama dua tahun, hingga akhirnya setelah sahabat saya yang selalu sekamar dengan saya yang berada satu tahun diatas saya (senior saya) tamat sekolah dan harus meninggalkan saya di asrama (sendirian). Mulanya saya sangat stres, Namun, saya memutuskan untuk belajar membuka diri dan berteman. Hasilnya, di masa satu tahun terakhir saya di SMA, saya jutru mendapatkan kembali banyak teman yang dulunya saya anggap mengabaikan saya, dan juga saya mendapat lebih dari satu orang yang menjadi sahabat saya hingga kini. Saya berhasil menikmati keadaan yang berbeda dan jauh lebih baik setelah saya memperbaiki sebuah keputusan salah yang pernah saya buat.

Saya juga teringat ketika saya memutuskan untuk memberikan uang saya saya dapatkan untuk membayar biaya masuk kuliah adik saya yang memilih kuliah di fakultas kedokteran, akibatnya kuliah S2 saya di Korea Selatan menjadi tertunda (bukan gagal). Banyak rekan-rekan kerja ayah saya berkata bahwa kami sungguh bodoh karena memasukkan adik saya ke universitas yang biaya masuknya sangat mahal (lebih dari Rp.200.000.000). Mereka tertawa dan berkata kalau universitas anak-anak mereka lebih murah dan nanti kalau lulus semua sarjana itu sama. Hati ayah saya sungguh panas, dan kami sempat bertengkar karena saya lah yang mati-matian mendukung adik saya masuk ke universitas itu. Saya kesal namun saya tidak menyesal, bagi saya itu adalah salah satu keputusan yang paling tepat dan terbaik dalam hidup saya. Kini adik saya berkuliah dengan baik di sebuah universitas ternama di Indonesia yang walaupun mahal namun kami tenang karena hampir tidak ada pungutan lain (termasuk praktek yang menggunakan Kadaver dan juga praktek lainnya), hanya buku dan peralatan pribadi yang harus dibeli oleh adik saya, sedangkan para pengejek itu mengeluh karena universitas anak-anak mereka memungut biaya ini itu diluar uang masuk dan uang semester. Kelak, mungkin adik saya akan menjadi satu-satunya dokter dalam keluarga besar ayah saya dan juga ibu saya.

Saya juga berpikir, mengapa dulu saya menganggap diri saya begitu bodoh dengan tidak mengikuti beberapa orang yang saya kenal untuk mengambil jalan pintas. Saat itu saya melihat bahwa orang-orang tersebut lebih sukses dari saya. Namun, kini orang-orang tersebut justru terkena masalah karena cara yang dulu mereka gunakan.

Saya juga berpikir mengapa saya seakan-akan berjalan begitu lama, namun saya bersyukur karena ketika saya melihat banyak orang lain yang dulu berjuang bersama dengan saya telah menyerah, saya justru mampu menambah langkah saya dan melihat titik terang,

Saya tidak menyesal saat memutuskan untuk kuliah di universitas yang saya pilih sendiri, juga mengambil jurusan yang saya inginkan, dan memilih tinggal ditempat kos pertama ketika saya tiba di Jakarta. Mungkin orang-orang berkata bahwa semua pilihan itu adalah pilihan kelas dua atau kelas tiga, namun saya tidak menyesal karena di tempat-tempat itulah saya menemukan orang-orang yang menjadi sahabat-sahabat terbaik saya hingga kini.

Kini saya bersyukur karena tetap berada dijalan saya, jalan yang saya pilih setelah sebelumnya saya sempat salah memilih jalan, saya memilih untuk berputar dan mengambil lajur yang benar tanpa memilih jalan pintas.


"If you make a bad decision then the next step is you should turn back to the right decision,

if you make a wrong decision without fix it and you keep move with that decision then you will make the wrong decision again and again,

the short way that you think probably is the right way or the better way than the normal way usually is the wrong way,

Never ever thinks a wrong things is the right just because you feel sorry."

Kalimat-kalimat amsal oleh sahabat saya, George Tan.


-Devy.R-

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber gambar:
mad-intellegence.com