Kisah
kekuasaan para pemimpin punya lembaran sejarah yang abadi. Baik atau buruknya,
mulia atau hinanya. Setiap masa selalu ada pemimpin pahlawan, tetapi disaat
yang sama selalu saja ada pecundangnya. Seakan-akan sebuah keniscayaan. Ada
orang-orang yang baik disana, tetapi banyak juga orang-orang yang buruk disisi
lain.
Kenyataan
semacam itu barangkali bisa dirasakan oleh orang-orang semacam Supeno, lelaki
yang sehari-hari bekerja sebagai seorang supir angkot di Bogor. Beberapa waktu
lalu, seperti biasa dia menarik angkutan di jalan utama Bogor. Saat beranjak
sian, kala ia memutar balik arah, hal yang rutin ia lakukan, seorang aparat
mengejarnya, memberhentikannya. Lalu, sumpah serapah keluar menghujaninya. Aparat
itu juga menghajarnya. Supeno tidak tahu kalau jalan itu dikosongkan karena
rombongan Presiden akan lewat.
Peristiwa
tragis yang dialami oleh Supeno adalah bagian dari kisah legenda pemimpin dan
rakyatnya. Ia mungkin tidak terlalu mengerti bahwa kekuasaan cenderung
menggoda, membusungkan dada, menyuburkan keangkuhan, bahkan bagi orang-oang
yang mengais makan disekitar kekuasaan, meski bukan mereka penguasanya.
Tetapi
setidaknya, supir itu bisa merasakan, ada jarak hebat antara seorang pemimpin
dan rakyatnya. Ada jurang perbedaan perlakuan yang sangat dalam terhadap
entitas manusia, meski semuanya lebih mirip parade kepalsuan. Betapa indahnya
bila hidup dibawah pemimpin yang mengayomi, dekat dengan rakyat, dan tidak
berubah menjadi raja yang otoriter.
Entah
mengapa, banyak pemimpin dalam level negara seringkali mengambil dari rakyatnya
jauh lebih banyak dari apa yang layak diterima oleh rakyatnya. Kepemimpinan
yang mereka miliki hanya secuil tanggung-jawab, yang tidak sepenuhnya kita
berikan dengan sukarela. Setiap kita lahir merdeka. Tidak ada yang mau
diperbudak. Akan ada perlawanan batin bila ada orang-lain yang hendak menguasai
apalagi menistakan. Maka, pemimpin bukanlah ruang untuk menindas, menguasai,
menganiaya, apalagi menzhalimi. Kepemimpinan adalah seruang kecil kecil di
pojok kehidupan, tempat orang memikul perwakilan amanah dari orang lain.
Kerinduan
akan pemimpin yang adil adalah suara hati yang kekal, tulus, dan fitrah dasar
jiwa. Kerinduan kepada pemimpin yang baik adalah kebutuhan jiwa yang alami. Seperti
anak-anak merindukan ayah yang damai, ibu yang lapang, mesk tinggal di rumah
kardus. Meski makan nasi kelam dengan lauk tak berbumbu dan tak berasa.
Ini
juga mimpi sekelompok warga pada ketua warga yang peduli, mengayomi, dan
menghargai sesama. Tidak menjadi kepanjangan tangan dari antek dan politikus
busuk. Menilap uang kompensasi untuk warga. Kerinduan akan kepemimpinan yang
adil adalah gejolak abadi sepanjang masa. Sebab, keadilan adalah pijakan yang
menjadikan keseluruhan hidup berada pada edar keseimbangan.
Merindukan
pemimpin yang adil seperti memimpikan keajaiban yang amat langka. Ini bukan
pesimisme atau apatisme, tetapi kian hari kian rumit jika kerinduan ini harus
kita eja dengan argumen yang rasional. Sebab, di jaman ketika dusta telah
dibungkus mewah dengan segala warna-warni hiasan, menunjuk hidung pemimpin yang
benar-benar baik dan adil tidaklah mudah, karena kepemimpinan telah menjadi
mata rantai yang sangat panjang bagi siklus manipulasi, kolusi, dan
perselingkuhan politik yang kotor.
Entah
kepada siapa rindu ini kita titipkan. Di lorong-lorong kehidupan kita yang
berserakan tanggung-jawab, kta ingin pemimpin-pemimpin yang baik. Bila
kerinduan ini tak juga sampai kepada Presiden, biarlah ia menjadi kerinduan
kita bersama, diantara kita, bersama keluarga, teman, sahabat, atau tetangga. Kita
mungkin tak terlalu peduli pada Presiden, bila memang sulit membayar kehidupan
ini. toh, keseharian kita lebih sederhana dari retorika kekuasaan orang-orang
yang rakus di pentas politik berdebu.
Kita
percaya, setiap legenda tidak pernah berdusta pada dirinya. Orang-orang yang
sepenuh hati memimpin, menebarkan rasa kasih sayang, akan ditulis seperti apa
adanya. Begitupun sebaliknya, legenda akan memuat daftar hitam para pemimpin
yang kejam, lalu secara alami menuliskannya di lembar sejarah hati, apa adanya.
Dan
bila kerinduan ini tidak terjawab juga, biarlah dia menjadi untaian pengaduan
kita kepada Tuhan Yang Maha Adil.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seluruh Cerita disadur dari:
TITIP RINDU BUAT PEMIMPIN YANG ADIL, Warta Volume XIX no.3 Hal.39, 2014, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
(dengan sedikit perubahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
INI BUKAN HIMBAUAN TAPI PERATURAN:
1.DILARANG melecehkan Suku, Agama, dan Ras tertentu.
2.DILARANG memplagiat artikel ini! Cantumkan link lengkap artikel ini dalam daftar sumber anda (jangan meng-copy 100% isi tulisan ini. Jadilah penulis yang kreatif).